Pengertian Bid’ah, Macam Serta Hukumnya

Posted: 8 - Mei - 2007 in Aqidah/Manhaj, Bantahan, Nasehat

 Bismilah

تعريف البد عة – أنواعها و أحكامها

PENGERTIAN BID’AH, MACAM SERTA HUKUMNYA

Oleh:

Asy-Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fuazan hafizahullah

1. Defifnisi Bid’ah

a. Menurut Bahasa

Definisi bid’ah secara bahasa di ambil dari kata (البدْع) maknanya adalah sesuatu yang menyelisi/tidak ada sebelumnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ (117) سورة البقرة

” Allah Pencipta langit dan bumi…” (QS. Al-Baqoroh: 117)

Yakni Allah menciptakan sesuatu (langit dan bumi,pent) yang tidak ada/menyelisihi sebelumnya.

Kemudian firman-Nya:

قُلْ مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنْ الرُّسُلِ …(9) سورة الأحقاف

“Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul…” (QS. Al-Ahqof: 9)

Yakni, engkau (Ya Muhammad,pent) bukanlah Rasul pertama yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan telah banyak rasul-rasul lain yang telah di utus-Nya kepada ummat ini.

Apabila dikatakan:

ابتدع فلان بدعة

Maknanya adalah Fulan telah membuat sesuatu yang baru yang menyelisihi sebelumnya.

Perbuatan bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Perbuatan bid’ah dalam adat, misal adanya sesuatu yang baru dalam adat. Hal ini adalah mubah, karena asal segala sesuatu dalam adapt adalah mubah.

2. Perbuatan bid’ah dalam agama. Perbuatan ini haram hukumnya, karena asal segala sesuatu dalam agama adalah Tauqifiyah (berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, pent).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري و مسلم)

Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini yang tidak ada perintahnya dari kami, maka hal itu tertolak” (HR. Bukhori; Muslim)

Dalam riwayat lain berbunyi:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka perbuatan tersebut tertolak” (HR. Muslim).

b. Menurut Syara’1)

Para ulama berbeda lafaz dalam mendefinisikan makna bid’ah secara syar’i. Perbedaan lafaz ini saling melengkapi makna yang satu dengan yang lainnya. Diantara definisi bid’ah secara syar’I adalah sebagai berikut:

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah: :”Bid’ah dalam agama adalah:’Apa-apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu apa-apa yang tidak diperintahkan olehnya baik itu wajib atau istihab (sunnah, pent)…” (Majmu’ Fatawa, jilid: 4, hal: 107-108).

Berkata Ibn Rajab rahimahullah:”Bid’ah adalah apa-apa yang baru yang mana hal itu (bid’ah, pent) tidak memiliki dalil secara syar’I dan apabila hal itu memiliki dalil secara syar’I maka hal itu tidaklah disebut bid’ah secara syar’I akan tetapi bid’ah secara bahasa” (Jami’ul Ulum Wal Hikam, hal: 267. Oleh: Ibn Rajab rahimahullah)2)

2. Jenis-Jenis Bid’ah

Bid’ah dalam agama terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Bid’ah Qauliyyah I’tiqodiyyah (Bid’ah perkataan dan keyakinan), seperti perkataan-perkataan dan kayakinan-keyakinan Jahmiyyah, Mu’tazilah, Rafidlo dan firqoh-firqoh yang menyimpang.

b. Bid’ah dalam Ibadat, seperti menyembah Allah dengan peribadatan yang tidak disyari’atkan-Nya. Bid’ah ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

b.1) Melakukan suatu peribadatan yang tidak ada dalam syari’at. Misalnya, kita melakukan ibadah sholat atau shaum (puasa) yang tidak ada syari’atnya, memperingati hari raya yang tidak ada syari’atnya seperti memperingati Maulid (hari kelahiran/ulang tahun) dan lain sebagainya.

b.2) Melakukan penambahan dalam ibadah yang telah ada syari’atnya, misalnya: Menambah raka’at sholat Zhuhur atau Ashar menjadi 5 raka’at.

b.3) Melakukan ibadah yang ada perintahnya akan tetapi dengan tata cara/etika yang tidak ada syari’atnya. Misalnya, dzikir. Dzikir adalah ibadah yang disyari’atkan akan tetapi jika hal ini (dzikir, pent) jika dilakukan dengan cara berjama’ah (dzikir jama’ah) maka hal ini jelas bid’ah.

b.4) Mengkhususkan waktu untuk melakukan ibadah yang sesuai dengan syari’at. Misalnya, melakukan Sholat dan Shaum pada Malam dan pertengan hari pada bulan Sya’ban. Sholat dan Shaum adalah dua ibadah yang ada syari’atnya akan tetapi pengkhususan waktu untuk melakukan kedua ibadah tersebut mesti mendatangkan dalil.

3. Hukum Bid’ah Dalam Agama Dengan Segala Macam Bentuknya

Setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

و إياكم ومحدثات الأمور, فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة (رواه أبو داود و الترمذي, وقال: حديث حسن صحيح).

“Dan berhati-hatilah kalian dari setiap perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat” (HR. Abu Dawud; At-Timidzi. Berkata At-Tirmidzi:”Hadits Hasan Shahih”).

Dan berdasar sabdanya:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري و مسلم)

Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini yang tidak ada perintahnya dari kami, maka hal itu tertolak” (HR. Bukhori; Muslim)

Dan juga sabdanya:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka perbuatan tersebut tertolak” (HR. Muslim).

Hadits-hadits di atas merupakan dalil yang menunjukkan bahwa setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah. Dan makna kalimat setiap yang bid’ah adalah sesat dan tertolak adalah bahwa setiap perbuatan bid’ah baik dalam keyakinan dan ibadah adalah terlarang (haram). Akan tetapi pengharamannya tergantung dari jenis bid’ahnya. Diantarannya menyebabkan kekafiran, seperti thowaf di kuburan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada penghuninya. Mempersembahkan sembelihan dan nazar kepadanya, berdo’a, beristigotsa kepadanya. Perkataan-perkataan ghuluw (berlebihan) orang-orang Jahmiyyah dan Mu’tazilah; Membangun kuburan, sholat dan berdo’a kepadanya. Dan diantaranya menyebabkan kefasikan dalam keyakinan, misal: Kebid’ahan Khawarij, Qodariyyah, Murzi’ah dalam hal perkataan-perkataan dan keyakinan-keyakinan mereka yang menyelisihi dalil-dalil syar’i. Dan diantaranya adalah kemaksiatan, misalnya: Melakukan shaum dengan menghadap matahari; vasektomi/tubektomi untuk menghilangkan syahwat jima’ (bersetubuh).

Peringatan:

Sebagian orang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi BID’AH HASANAH dan BID’AH SAYI’AH, pendapat ini jelas SALAH dan MENYELISIHI sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

كل بدعة ضلالة

“Setiap yang bid’ah adalah sesat”

Dikarenakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Mereka berpendapat bahwa tidak semua bid’ah itu sesat melainkan disana terdapat bid’ah hasanah.

Berkata Al-Hafiz Ibn Rajab dalam kitabnya “Syarh Arba’in Nawawiy”:”Sabdanya Setiap bid’ah adalah sesat adalah kalimat yang begitu luas yang meliputi segala sesuatu serta tidak ada yang terlepas darinya. Hadits ini merupakan dasar yang agung dari dasar-dasar agama sebagiamana juga hadits:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري و مسلم)

Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama ini yang tidak ada perintahnya dari kami, maka hal itu tertolak” (HR. Bukhori; Muslim)

Maka setiap perkara yang baru dalam agama dan disandarkan kepada agama sedangkan perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam agama, maka hal itu/perbuatan tersebut kembali kepadanya, yakni perbuatan tersebut sesat (dholal), agama ini (Baca: Islam) berlepas diri (bara’) darinya. Hal ini sama saja, baik dalam masalah I’tiqodat (keyakinan-keyakinan), amalan-amalan, ataupun perkatataan-perkataan baik yang nampak maupun tidak” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal: 233).

Mereka tidak memiliki hujjah (dalil) sama sekali bahwa di sana terdapat bid’ah hasanah, kecuali perkataan ‘Umar radhiallah ‘anhu dalam masalah sholat tarawih

نعمة البدعة هذه

“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”

Dan mereka juga berpendapat: Sesungguhnya banyak perbuatan-perbuatan bid’ah yang mana para Salaf tidak mengingkarinya, misal pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab (Mushhaf) dan penulisan As-Sunnah (Al-Hadits).

Maka jawaban dalam hal adalah: Sesungguhnya permasalahan ini (pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab dan penulisan Al-Hadits, pent) memiliki dasar secara syar’I dan bukan merupakan perkara yang baru (dalam agama). Sedangkan berkataan ‘Umar radhiallahu ‘anhu “Sebaik-baiknya Bid’ah adalah ini” maknanya adalah bid’ah secara bahasa bukan makna secara syar’i. Karena setiap sesuatu yang pada dasarnya memiliki landasan secara syar’I akan kembali ke hukum semula apabila dikatakan bid’ah, maka makna bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Karena makna bid’ah secara syar’I adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar menurut syar’i. Sedangkan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu buku hal ini memiliki landasan syar’I, yakni Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk menuliskan Al-Qur’an. Akan tetapi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu berbeda-beda, maka para sahabat radhiallahu ‘anhum mengumpulkannya dalam satu mushhaf, sebagai upaya untuk menjaganya. Kemudian, sholat tarawih. Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakannya secara berjama’ah dengan para sahabat, kemudian ia meninggalkannya dikarenakan kekhawatiran beliau akan diwajibkannya sholat tarawih bagi mereka. Kemudian para sahabat radhiallahu ‘anhum tetap melaksanakan sholat tarawih baik ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah wafatnya, tetapi dengan terpisah-pisah sampai akhirnya dikumpulkan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu dengan satu imam. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian tentang penulisan hadits juga memiliki landasan syar’I, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk menuliskan beberapa hadits kepada beberapa sahabat ketika ia meminta hal tersebut. Pada awalnya mereka menghindari penulisan hadits secara umum dikarenakan kekhawatiran mereka akan tercampurnya Al-Qur’an dan Al-Hadits, akan tetapi setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat maka kekhawatiran ini lenyap dikarenakan Al-Qur’an telah turun dengan lengkap (sempurna) sebelum beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Maka dikumpulkanlah hadits-hadits setelah itu oleh mereka sebagai langka untuk menjaganya. Maka kami ucapkan Jazahumullah ‘anil Islam wal Muslimin khoiron, karena usaha mereka untuk menjaga Kitab Rabbnya dan Sunnah Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam dari perubahan-perubahan.

Diterjemahkan secara bebas dari: Kitabut Tauhid, hal: 106-110. Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan hafizahullah.

Catatan kaki:

1.Tambahan dari penerjemah.

2. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam kitab Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah Min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, jilid: 1. Oleh Syaikh Doktor Ibrohim Ar-Ruhailiy hafizahullah.

Komentar
  1. [quote]b.3) Melakukan ibadah yang ada perintahnya akan tetapi dengan tata cara/etika yang tidak ada syari’atnya. Misalnya, dzikir. Dzikir adalah ibadah yang disyari’atkan akan tetapi jika hal ini (dzikir, pent) jika dilakukan dengan cara berjama’ah (dzikir jama’ah) maka hal ini jelas bid’ah.[/quote]

    Dakwah dan taklim ada perintahnya, dilakukan menggunakan website gak ada contohnya.

    Lagian gak ada tarbiyahnya sebagaimana Rasulullah SAW dan orang2 salaf terdahulu.

    Barakallahu fikum.

    Dari penjelasan Anda ini, kami kira Anda belum faham akan definisi bid’ah .

    Perlu Anda ketahui juga tentang definisi ibadah supaya tidak salah pengertian nantinya.

    Ibadah adalah kumpulan nama dari apa-apa yang dicintai dan diridloi oleh Allah Azza wa Jalla dari perbuatan baik yang tanpak ataupun yang tersembunyi. Nah, jika Anda faham akan kedua definisi ini -InsyaAllah- Anda tidak akan berpendapat seperti di atas lagi. Allah Ta’ala A’lam.

  2. Memang saya belum paham, oleh karena itu saya bertanya.

    Tidur ibadah, ke kamar mandi ibadah, aktivitas lain apapun asal pake cara sunnah Rasulullah SAW itu ibadah, benar nggak?

    Menuntut ilmu agama ibadah? Pasti… kalo caranya nggak sesuai sunnah Rasulullah SAW apa boleh disebut ibadah, bukannya malah mendatangkan fitnah.

  3. Abu Haniifah berkata:

    Dalam majalah Salafy edisi 5 tahun 5 , Dalam artikel yang berjudul , “Saya Merindukan Ukhuwwah Imaniyah Islamiyah” , Ustadz Ja’far Umar Tholib menulis :

    “…Saya lupa dengan keadaan yang sesungguhnya mayoritas ummat di Indonesia yang tingkat pemahamannya amat rendah tentang Islam. Saya saat itu menganggap tingkat pemahaman ummatku sama dengan tingkat pemahaman murid-muridku. Akibatnya ketika saya menyikapi penyelewengan ummat dari As-Sunnah, saya anggap sama dengan penyelewengan orang-orang yang ada di sekitarku yang selalu saya ajari ilmu. Tentu anggapan ini adalah anggapan yang dhalim. Dengan anggapan inilah akhirnya saya ajarkan sikap keras dan tegas terhadap ummat yang menyimpang dari As-Sunnah walaupun mereka belum mendapat penyampaian ilmu Sunnah. Sayapun sempat menganggap bahwa mayoritas kaum muslimin adalah Ahlul Bid’ah dan harus disikapi sebagai Ahlul Bid’ah. Maka tampaklah Dakwah Salafiyyah yang saya perjuangkan menjadi terkucil, kaku dan keras. Saya telah salah paham dengan apa yang saya pelajari dari kitab-kitab para Ulama’ tersebut di atas tentang sikap Ahlul Bid’ah. Saya sangka Ahlul Bid’ah itu ialah semua orang yang menjalankan bid’ah secara mutlak.”

    Pemilik majalah ini (Ja’far Umar Tholib) adalah seorang Hizbiy, maka cukuplah bagi kita untuk menolak perkataannya.

  4. yoga berkata:

    assalamuálaykum. afwan sblmnya..mgkn ana masih kurang paham masalah bid’ah..ada yg blg bid’ah yg bermanfaat.mereka menarik contoh dg adanya madrasah yg dulu di jaman nabi blm da contohnya.kl tu bkn bid’ah, terus tu namanya pa???afwan, mohon penjelasannya.jazakalloh.

    Wa ‘alaikum salam. Perlu kami jelaskan disini bahwa definisi bid’ah terbagi menjadi dua, menurut bahasa dan Syar’i. Bid’ah menurut bahasa adalah apa-apa yang tidak ada sebelumnya . Contohnya, mobil, komputer, dll. Maka ini disebut bid’ah secara bahasa dan ini tidak dihukumi haram . Sedangkan bid’ah secara syar’i adalah segala perbuatan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah yang mana perbuatan tersebut tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Misal; peringatan maulid nabi dll.

    Demikian penjelasan masalah bid’ah secara ringkas.

  5. Abdullah berkata:

    “Sedangkan bid’ah secara syar’i adalah segala perbuatan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah yang mana perbuatan tersebut tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Misal; peringatan maulid nabi dll.”

    Mengguankan website dgn tujuan utama da’wah (amar ma’ruf nahi munkar) juga bid’ah.

    Ente suka membid’ahkan orang lain. Ente sendiri berada dimana?

  6. Abu Ja'far AL-Balembanji berkata:

    Menanggapi saudara Abdullah:
    Kalo menggunakan website itu merupakan suatu wasilah, tidak termasuk dalam kategori bid’ah seperti menggunakan mikropon untuk adzn.Wallahu A’lam

  7. Assalamu’alaikum.
    Untuk saudara Abdullah -semoga Alloh membimbing Saya, Anda dan semua kaum muslimin di atas jalan yang benar- sekiranya memang mau mencari kebenaran, Saya anjurkan Anda untuk mengunjungi http://www.gsalaf.com kemudian cari dengan kata kunci: pengertian bid’ah. Oh, sebentar, Saya sarankan juga sebelum memulai untuk tulus meniatkan mencari ilmu yang bermanfaat, kemudian bacalah bismillah.Insya Alloh keingintahuan Anda tentang pengertian bid’ah yang benar akan tercukupi dari situ. Atau kalau Anda tidak mau cari di http://www.gsalaf.com, cobalah kunjungi alamat ini:http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1210. Atau kalau jenuh dengan tulisan, silahkan Anda kirim email ke Saya: bindasmin@yahoo.com,sekalian kita kenalan, insya Alloh Saya kirimkan rekaman ceramah Ustadz Muhammad Umar As Sewed hafidzahulloh yang sangat gamblang, ilmiah dan mudah dicerna tentang hal di atas. Semoga bermanfaat.
    Wassalamu’alaikum.

Tinggalkan Balasan ke Forum Informatika Batalkan balasan